Latest Post

BARONGKU BARONG KUDUS


Pagi hari, hujan masih saja turun begitu derasnya. Dan sepertinya aku enggan beranjak dari kasur kumal yang tergeletak begitu saja di lantai kamarku. Dingin!!! 
Sejenak aku mencium aroma bedak anak bungsuku, si Punto, yang sudah beberapa hari lalu tinggal di rumah embahnya di lereng Muria sana.
" Sekarang jam berapa ya? " gumamku seraya menggeliatkan badanku. Nikmat...hehe. Menggeliat saat terjaga dari tidur adalah sebuah kenikmatan dan membuat banyak orang enggan beranjak dari tempat tidurnya
Beberapa jenak aku terlamun, sebelum menajamkan sebagian pendengaranku. 
 " Bukankah hari ini agendanya adalah bersih - bersih rumah. Nanti siang atau sorean, anak - anakku yang besar sama yang nomor dua akan pulang dari liburan di rumah budhenya di Tuban sana.  
 Ah...jadi kangen sama mereka. Seno dan Wening. Kangen sama pertikaian kecil mereka, juga imajinasi - imajinasi mereka, terutama si Wening.


  " Wayangseno Lintang Kusummo " dan " Wayangwening Jatizzahro "

Sementara pendengaranku menangkap suara air yang mengalir dari tempat pencucian perkakas dapur, meskipun lamat - lamat. Maklum, derasnya hujan yang turun pagi ini mampu mengalahkan beberapa suara yang timbul didalam rumah. Sembari menguap, aku bangkit dari tempatku tidur. Masih ngantuk. Semalam aku tidur setelah subuh. 

Segera aku melangkah keluar, dan ternyata sudah tercium aroma kopi panas. Hehe...diatas meja makan sudah tersaji dua cangkir kopi.  

" Pasti bapak yang membuatkan kopi ", dan ternyata benar. Beliau tampak sedang mencuci beberapa perabot makan yang belum sempat aku cuci semalam. 

Tanpa banyak tanya, kuseruput cangkir kopi panas itu. Panas, tapi nikmat. Kulangkahkan kaki menuju teras rumah, bermaksud menikmati hujan pagi ini ( meski terlambat ) sambil nyeruput kopi buatan bapak. Tapi seperti ada yang kurang pada kopi pagi ini. Padahal suasana seperti ini kurasa sangatlah lengkap, ada pagi, hujan dan kopi. Sejenak aku berpikir...yah, ternyata rokok habis. Tanpa banyak pertimbangan, kusambar payung yang tergeletak di sudut teras. Demi sebuah kenikmatan...haha, gumamku, meski harus menerobos hujan dan bergulat dengan dinginnya udara.

Setelah semuanya tersedia, segera kuhampiri laptop yang sejak semalam kugunakan untuk mencari data dan menulis tentang budaya lokal kota kudus. Secangkir kopi, sebungkus rokok, dan diiringi alunan musik alam, aku kembali membuka file - file yang semalam sudah kuunduh dan kutulis kembali. 

Kisah budaya itu adalah tentang Barongan Kudus. Sebuah seni tradisi yang mulai banyak ditinggalkan karena beberapa alasan. Seni barongan dianggap tidak populer dan ketinggalan zaman. Hanya dilakukan untuk memperingati suatu kejadian atau peristiwa saja, seperti pitulasan, ruwatan, dsb. Ia ( barongan_red ) kalah mentereng dengan seni barongsai, yang notabene mempunyai bentuk dan laku hampir sama. Akan tetapi, kemasan dan visualnya jauh berbeda. Seperti diketahui, seni barongsai bukan berasal dari Indonesia. Tetapi seni barongsai adalah seni tradisi bangsa china ( itu yang aku tahu ).Kembali berbicara tentang Barongan, adalah kesenian khas Kudus yang bentuknya hampir menyerupai Reog Ponorogo, yaitu topeng macan yang besar tetapi tidak setinggi topeng Reog Ponorogo. Yang menjadi pembeda lainnya adalah jumlah orang yang memainkan barongan. Dimana Barongan Kudus dimainkan oelh 2 ( dua ) orang yang dibagi atas bagian kepala ( ndas ) dan ekor ( bunthut ) barongan. Dan lebih mirip dengan visual Barongsai.


Gambar illustrasi : Barongan Kudus
Gambar illustrasi : Reog Ponorogo
Ada lagi sebuah cerita tutur, bahwa seni barongan berasal dari desa barongan kudus. Hal tersebut diyakini berdasar asal usul desa barongan sendiri, dengan cikal bakal desa yaitu Kyai Mbah Barong. Konon dimakamkan di bawah gerumbulan tanaman bambu ( pring_red ) yang berarti " barong ". Mbah Barong, menurut tutur yang beredar di sekitar desa barongan, memelihara seekor harimau yang sering diajak bermain oleh para santrinya. Sehingga pada zaman Mbah Sunan Kudus, kesenian barongan sering dimainkan juga selepas sore sambil menunggu magrib tiba.
Menurut seorang pengamat budaya kudus, Benuk Ibnu Haris, barong kudus berbeda dengan barongan di daerah lainnya. Yaitu bentuk barongan kudus, yang dikatakan mengadopsi tekstur tubuh macan ( harimau_red ) muria. Macan muria adalah harimau khas daerah pegunungan muria, yang bertubuh agak kecil memanjang ( hampir mirip seekor kucing, namun agak besar ) dengan motif loreng tipis memanjang.





Mengapa barongan kudus semakin kehilangan banyak penggemarnya?

Mungkin pergerakan sebuah budaya memang seperti itu. Hukum. Ya, mungkin itu adalah sebuah hukum. Dimana ketika sebuah tradisi dikatakan sudah tak mampu menghidupi pelaku dan masyarakatnya ( dalam hal manfaat ), maka ia akan tersingkir dengan sendirinya. Apalagi seiring berjalannya waktu dan berubahnya zaman, dimana diyakini juga turut mengubah pola pikir orang - orang pada satu masyarakat tersebut.
Satu contoh, ketika seni Barongsai mampu menyedot perhatian banyak orang dengan berbagai atraksinya dan gerlap busana serta aksesorisnya, maka barongan semakin tenggelam dengan ke-ilmu-an yang tetap dijaga oleh para pelakunya tentang hidup dan kearifannya.
Pertunjukan Barongsai mampu mengubah suasana sunyi menjadi hingar bingar bunyi - bunyian yang mengiringinya. Gerlap busana yang dipakai mampu membabat habis batas penglihatan orang - orang disekitarnya. Namun Barongan tetap asyik bersujud pada kebijaksanaan alam nyata dan tak nyata, dan ageman-nya menyuarakan kesahajaan para pribumi. Yang hangat dengan tutuk kenong dan selompret barongan yang khas, juga wirid laku si macan, yang dikatakan sebagai simbol ke-angkara murka-an dan hawa nafsu yang ada dalam setiap diri dan harus dan wajib ditundukkan.
Banyak cerita yang mengalir begitu saja tentang barongan kudus, terutama kasak kusuk masyarakat itu sendiri yang tentu saja bisa membangun sebuah opini.
" Mana Barong-mu? Inilah Barongku, Barong Kudus "

Berikut adalah cerita sekilas dibalik Barongan Kudus :
Se-ulas BARONGAN KUDUS 




 

Se-ulas Barongan Kudus


Barongan adalah kesenian khas Kudus yang bentuknya hampir menyerupai Reog Ponorogo, dengan macan yang besar tetapi tidak setinggi topeng pada Reog Ponorogo. Biasanya didalamnya terdapat 2 orang yang memainkannya, satu di depan sebagai kepala dan satu dibelakang sebagai ekor. Kesenian Barongan dimainkan secara group yang terdiri dari antara 10 sampai 15 orang termasuk pemain gamelan tabuhannya.
Barongan adalah Singo Barong yang juga dijuluki Gembong Kamijoyo. Gembong Kamijoyo sebenarnya merupakan putra pujan dari Mbak Dewi Partinah. Tetapi sejak kecil Gembong Kamijoyo telah diasuh oleh Mbok Rondho Dhadapan di hutan Lodoyo. Gembong Kamijoyo bentuknya menyerupai macan yang berperawakan besar berbulu loreng dan mempunyai keistemewaan dan kelebihan daripada hewan - hewan lain. Karena Gembong Kamijoyo mempunyai keistimewaan dapat berbicara seperti manusia dan mempunyai kesaktian yang sakti mandraguna.
Gembong Kamijoyo menjadi Raja hutan di seluruh tanah Jawa, dia diperbolehkan makan apa saja yang sedianya menjadi jatah Bhatara Kala. Kesaktian Gembong Kamijoyo ini terdengar sampai ke telinga Prabu Brawijaya di Majapahit. Sehingga Prabu Brawijaya perlu memanggil Gembong Kamijoyo untuk membuktikan kesaktiannya itu. Kemudian ia diberi tugas untuk mencari 2 orang cemaniloka, yang telah mengajarkan ilmu agama Suci di tanah Jawa secara diam - diam tanpa ijin Raden Prabu Brawidjaya terlebih dahulu. Gembong Kamijoyo pun keluar masuk hutan di seluruh Tanah Jawa tetapi tidak menemukan juga 2 orang yang dicari tersebut. Hingga akhirnya Gembong Kamijoyo tiba di hutan Patiayam yang di lereng sebelah timur Gunung Muria, dan bertemu dengan Penthul dan Tembem yang tak lain adalah 2 orang cemaniloka yang dicarinya. Maka terjadilah perang antara Gembong Kamijoyo melawan Penthul dan Tembem. Ternyata kesaktian Penthul dan Tembem sangat luar biasa sehingga Gembong Kamijoyo bisa dikalahkan dan tundukkan dengan diberi minum Air Bening berupa alunan Asap Dupa.
Atas kemurahan hati Penthul dan Tembem, permohonan Gembong Kamijoyo untuk dibebaskan dipenuhi dengan syarat harus melaksanakan perintah Penthul dan Tembem, yaitu :
1. Gembong Kamijoyo dilarang makan manusia yang menjadi jatah Bathara Kala apabila manusia tersebut mau memberi pengganti berupa upara ruwatan untuk anak yang Ontang-Anting, Sendang Kapit Pancuran ataupun anak yang Pancuran Kapit Sendang.
2. Gembong Kamijoyo dilarang memakan sembarang hewan yang membantu petani, seperti Sapi, Kerbau, ayam, itik, kambing dan sebagainya.
Dan mulai saat itulah agama suci yang tak lain adalah agama Islam mulai sedikit demi sedikit disiarkan di Tanah Jawa.


 

linkwithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. DUDU DEWO - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger